Senin, 01 Agustus 2016

Siswa Berkarakter Kinestetik Perlu Diperhatikan


Setiap guru di Indonesia tidak banyak yang mengerti soal karakteristik psikologi anak. Banyak dari mereka yang mengacu pada karakteristik auditori dan visual, sedangkan karakter kinestetik dianggap sebagai kenakalan.

Psikolog yang berkecimpung di Yayasan Anak Indonesia Suka Baca, Kamis (28/6), Linda Saptadji mengatakan,

karakteristik anak menjadi salah satu tantangan bagi pendidikan di Indonesia, terutama bagi anak yang memiliki karakter kinestetik. Guru sering mempersepsikan mereka sebagai anak yang nakal karna banyak bergerak”.

Tidak semua pelajaran memiliki sesi praktik, sehingga harus ada usaha lebih untuk bisa menerjemahkan pengetahuan yang guru berikan dalam bentuk praktik,” jelasnya Linda. “Karena pada saat mapping terserah anak mau menulis apa dan mereka mempertanggungjawabkan apa yang mereka tulis,” kata Linda. Mayoritas guru di sekolah lebih mengacu pada karakteristik visible dan auditorial, sehingga anak yang berkarakter kinestetik tidak terangkul secara maksimal dalam mencerna pelajaran.

Guru-guru di Indonesia belum dikomunikasikan untuk menangani kriteria anak. Kasihan, karena mereka itu memiliki karakteristik yang unik. 


Tidak satisfactory jika kita menghadapi mereka dengan cara yang sama. "Guru-guru di Indonesia belum dikomunikasikan untuk menangani kriteria anak. Kasihan anak-anak, karena mereka itu kan memiliki karakteristik yang unik. Tidak fair jika kita menghadapi mereka dengan cara yang sama," ungkap Linda Saptadji, psikolog yang berkecimpung di Yayasan Anak Indonesia Suka Baca, di Jakarta, Kamis (28/6/2012).

Linda mengatakan, karakteristik anak memang menjadi tantangan bagi dunia pendidikan saat ini, khususnya anak-anak yang memiliki karakter kinestetik. Linda melanjutkan, anak kinestetik memiliki problema dalam menangkap pelajaran. Akibatnya, anak-anak kinestetik belajar dengan cara-cara motorik. Guru juga diminta untuk mencari strategi baru dalam mengajar dan mendidik perkembangan anak-anak didiknya. "Karena pada saat mapping terserah anak mau menulis apa dan mereka mempertanggungjawabkan apa yang mereka tulis," kata Linda. “Bukan menjadi guru yang pemarah dan senang menjatuhkan muridnya,” katanya. Karena itu, kata Sudibyo, dalam mengajar banyak hal yang harus diperhatikan agar seorang guru bisa menjunjung tinggi komitmen, konsisten, dan konsekuen terhadap pekerjaannya. 

Guru yang berkarakter akan mengajar dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang. Kemapuan visual, auditori dan kinestetik (kepekaan). “Jadi seorang guru bisa memahami kendala siswa dalam menyerap pelajaran. Metode seperti eksplorasi, eksploitasi, dan elaborasi, sangat membantu setiap siswa yang kesulitan dalam pelajaran. Anak merupakan individu yang berkarakter, memiliki ciri khas tersendiri. Sama halnya dengan siswa dalam kelas. Jumlah yang kurang menguntungkan untuk pembelajaran. Tipe belajar visual ialah cara anak belajar dengan cara melihat. Anak dengan tipikal ini cenderung lebih mudah belajar karena hanya dengan melihat ia bisa dengan mudah menangkap pelajaran.

Anak kinestetik merupakan kelompok anak yang cenderung mengalami kesulitan belajar karena mereka harus mengalami sendiri suatu peristiwa agar cepat paham. Mereka sangat kesulitan jika belajar hanya dengan membaca dan mendengar. Apabila guru mengenali tipe belajar masing-masing anak, hal tersebut akan mempermudah guru dalam melaksanakan pembelajaran. Guru dapat memilih media yang paling tepat sesuai dengan karakteristik siswa dalam kelasnya. Angket-angket tersebut berisi pertanyaan tentang kebiasaan anak visual, auditory, dan kinestetik. Keuntungan memahami tipe balajar anak bukan hanya bermanfaat bagi guru tapi untuk anak sendiri dan orang tua. 

"Ketika anak memahami tipe belajarnya ia akan belajar memahami sesuatu 
dengan caranya sendiri. "


Contoh, orang tua yang memiliki seorang kinestetik, mereka harus memahami bahwa anak kinestetik memang memiliki kesulitasn belajar. Ketika orang tua memahami cara belahar anak, ia akan menuntun mereka perlahan, membimbing, mengarahkan dan hal terlarang bagi orang tua adalah menuntut anak dengan ekspektasi yang tinggi. Kita tidak bisa menyamakan diri kita sendiri dengan mereka. Mereka jelas hidup di zaman yang berbeda maka pola didik yang dibutuhkan tak bisa disamakan. Tuntutan yang berlebihan, ekspektasi berlebihan akan membuat mereka bekerja keras dan sampailah pada titik kejenuhan, frustasi karena tidak bisa melakukan apa yang diharapkan orang lain. Biarkan mereka berekspresi, melakukan hal positif yang mereka suka. 

Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan berkarakter pada peserta didik sekolah menengah untuk membentuk dasar berpikir yang lebih dewasa. Tujuan; Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Hasil; Pendidikan berkarakter bagi siswa sekolah menengah dapat terwujud dengan melakukan hal-hal antara lain; pendidikan karakter secara terpadu melalui pembelajaran, pendidikan karakter secara terpadu melalui manajemant sekolah, dan pendidikan secara terpadu malalui kegiatan ekstrakurikuler. 

Masalah-masalah yang ditimbulkan oleh siswa tidak lepas dari peran guru yang turut memberikan pengaruh besar pada pendidikan itu sendiri. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya. Pendidikan karakter diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.

sumber:duniapsikologiuntukanda.blogspot

0 komentar:

Posting Komentar